DATUK
DAN KI
Oleh : Sandi S
Jika
hendak mendengarkan ceramah yang lucu
nan kocak serta menghibur, orang-orang akan mengundang Datuk Barujar menjadi
penceramah, bak Abu Nawas yang gemar lelucon cara ceramahnya begitu menghibur.
Kendati demikian ucapannya tetap zhahir
di telinga pendengar. Lain pula ketika orang-orang hendak mengadakan tabligh
atau dzikir yang berisi renungan, mereka lebih memilih mengundang Ki Ageng Sufi
yang tutur katanya lembut dan tampan pula. Namun keduanya tak pernah terlihat
bersama, baik di luar maupun saat berada di ranah agama. Mereka dilahirkan dari
pondok yang sama, di bawah naungan tutor yang sama pula. Sejak Barujar mendapat
gelar Datuk dan Sufi digelari Ki Ageng, keduanya menjadi rival. Mereka berdua
pun ditugasi mengajar di pondok yang sama. Keduanya tetap menjdai seteru.
“
lihat dua anak Adam itu berseteru ! “, iblis menyeru seraya rebahan di atas
tiupan angin dari lembah syaitan. “ bodoh ! mereka tak mesti begitu, harusnya muhasabah “ bumi intervensi. Biarpun ramadhan datang lantas hari fitri
menjelang, tetap saja keduanya menjadi seteru. Pada hari sholat jum’at,
keduanya tak pernah berada dalam satu
naungan atap. Bila Datuk Barujar menjadi
khotib jangan pernah berharap Ki Ageng Sufi ada di barisan ma’mum. Begitupun saat
bila Ki Ageng yang menjadi khotib, Datuk Barujar tengah melakukan hal sama di
mesjid lain. Bila lebaran menjelang keduanya ingin khotib dan imam, padahal
penduduk pernah meminta keduanya berbagi.
“
Apakah ini yang namanya fastabiqul
khoirot ? ” bumi kembali menyela, sementara iblis yang tengah rebahan di
atas hembusan angin dari lembah syaitan terkekeh. Di satu sisi mereka tetap
mengusung misi keagamaan. Keduanya tetap mengkhibrah santri-santrinya untuk
mempelajari ilmu agama secara mendalam. Secara sarkasme mereka melibatkan pengajaran
kedengkian, tentang syamatah dan hasad yang selalu berkelindan. Apa
mereka ingin seperti saudara Yusuf alaihi
salam yang mengumbar kedengkian lalu saling bunuh ?. Barangkali keduanya
saling girang jika diantaranya ada yang tengah kesusahan.
***
Bertahun-tahun
setelah seteru itu berlalu, selama itu pula belum ada kabar dari Datuk Barujar.
Berhembus kabar dari angin arbain kalau Datuk Barujar telah kembali ke Meulaboh
tanah kelahirannya, ada yang bilang kalau ia tengah mengajar ilmu agama di
sana. Namun berhembus kabar lain kalau Datuk Barujar sudah hijrah ke Malaysia
dengan misi yang sama yakni mengajarkan ilmu agama. Sudah lama ia tak kembali
ke tanah Jawa, sebagian jama’ah merindukan ceramah jenakanya. Beberapa santri
mencoba mengirim telegram kepadanya agar kembali ke pondok karena Ki Ageng kini
tengah sakit-sakitan. Tapi tak kunjung ada balasan.
Ki Ageng Sufi
tengah berbaring lemah di kamarnya, sedang berkali-kali telegram tak jua
bersambut balasan. Apa yang disangkakan santri dan orang-orang tentang Datuk
Barujar tak sepenuhnya benar. Ia memang sedang berada di Malaysia namun bukan
sebagai pengumbar ilmu-ilmu agama. Ia sudah jatuh ke lembah syaitan yang penuh
gulita. Ia menjadi gemar mabuk dan berjudi.
“ lihat cucu
Adam yang satu itu sudah menjadi pengikutku “ iblis yang tengah rebahan di atas
angin yang berhembus dari lembah syaitan kembali terkekeh.
Pagi-pagi sekali
ia baru kembali dari tempat perjudian, ketika kumandang adzan subuh dan kokok
ayam pejantan bersahutan. Didapatinya keadaan badan penuh peluh dan berbau anyir
minuman. Selembar telegram melayang dihempas angin pintu kontrakan yang ia
hempaskan. Bertaburan dengan telegram lain yang sudah lusuh dan berdebu. Satu
lembar pun belum ada yang terbaca olehnya. Ia raih satu telegram yang terlihat
masih baru. Ia hempaskan badan ke kasur lalu debu bertabur. ...Ki Ageng Sufi sudah wafat. Begitu isi
telegramnya. Ia hanya melenguh panjang. Sudah mati ya. Tubuh yang bergumul
peluh itu ia biarkan dibawa ke dalam tidur.
***
Di rumah Ki
Ageng Sufi bergelimangan manusia hilir-mudik melawat dan sekedar memberi
salinan do’a dari yasinan. Berbondong-bondong kelompok tarekat menyambangi
rumah duka. Manusia tumpah ruah bagai lebah yang berhimpitan, suaranya
berdengung. Hampir seluruh penduduk kampung berdatangan, pria, wanita, muda,
manula, petinggi desa datang, pemuka agama datang, guru dan siswa yang masih
berseragam datang. Di mana Datuk Barujar ? barangkali pertanyaan itu yang
menumpuk di benak orang-orang yang datang. Jenazah sudah selesai dimandi dan di
sholatkan tinggal menunggu proses pemakaman. Padahal hari menjelang petang.
Kenapa tak kunjung di kebumikan ? pertanyaan kembali menggema dari telinga ke telinga. Pesan terakhir Ki Ageng kepada
santrinya untuk menyemayamkan jenazahnya sepulang Datuk dari perantauan
sekaligus meminta ia memimpin do’a pemakaman.
Petang menjelang
pagi pun kembali datang. Orang-orang yang berta’ziah kembali berdatangan
sekedar bersalaman, menempati kursi yang disediakan, mengunyah sepotong kue
yang disajikan, meminum seteguk minuman kemasan. Sedang Datuk tengah membanting
kartu remi dan bersebelahan dengan wanita jalang. Kaum ibu di dapur sibuk
merangkai bunga tujuh rupa yang nantinya bakal disematkan di atas keranda
menuju kuburan, sebab bunga yang kemarin sudah layu. Yang lain menanti seremoni
pemakaman.
“ Bukankah
dimakamkan lebih cepat lebih baik ? “ bumi mengeluh menanti jenazah Ki Ageng
Sufi untuk didekap. “ biar saja lebih lama lebih busuk “ iblis menyela sembari
tertawa.
***
“ Mau kemana
Bang ? “ tanya tetangga. Ia hanya menekuk wajah ke tanah, digendongnya ransel
dan bergegas menyambangi bus yang tengah terparkir di hulu jalan. Ia coba
mengingat rivalitasnya dengan Ki Ageng, membayangkan suasana saat berceramah di
hadapan ratusan jama’ah. Untuk apa ia kembali ? untuk Ki Ageng kah ? agama kah
? pertanyaan itu menyembul ketika melihat anak-anak madrasah di kanan jalan
yang hendak pulang dari pengajian. Ia juga tak yakin kalau rivalitas selama itu
bisa dimaafkan. Ia buka lembar demi lembar telegram berdebu yang belum sempat
terbaca. Dikenangnya tentang khibrah,
taubat, dan ibadah. Ia sendiri yang mengusung misi ibadah kepada
santri-santrinya. Berubah tidak cukup hanya dengan taubat, tapi setidaknya
awali dengan taubat. Bukankah itu yang ia gadang-gadang kepada santrinya?. Ia
mengerang dan menjambak kepala.
Ia pulang, astagfirullah ketika senja beranjak
petang, para pelayat masih setia memanjatkan munajat. Membaca yasin dan dzikir.
Bendera kuning di depan rumah luntur warnanya diperas terik mentari dan hujan
yang memapah wajah-wajah gelisah. Semua orang menaruh tatapan aneh padanya,
barangkali pangling setelah puluhan tahun tak bersua dengannya. Datukkah itu ?
sebagian bertanya-tanya. Tapi ia lusuh dan tak berpeci.
Ia dapati
jenazah di tengah rumah dikelilingi santri yang masih setia mengaji. Ia sibak
kain penutup wajah Ki Ageng. Ah, ia masih saja tampan, tapi sedikit mengisut,
pipinya mencuat, wajahnya kesepian.
“ Kenapa tak
segera disemayamkan ? “ tak ada yang menjawab, masing-masing menekuk wajah.
Sampai begitukah mereka menantiku ? ia mendongakkan wajah ke hadapan lampu.
Acara pemakaman
berlangsung malam itu juga, desa itu tak dirundung mendung. Semua warga mandi
cahaya. Tak ada gurat dari wajah-wajah gelisah yang menanti kehadiran Datuk
Barujar seperti sedianya mereka menunggui jenazah dari hari ke hari. Manusia
tumpah ruah bagai lebah yang berhimpitan, suaranya berdengung. Hampir seluruh
penduduk kampung berdatangan, pria, wanita, muda, manula, petinggi desa datang,
pemuka agama datang, guru dan siswa sudah mengganti seragamnya.
Datuk Barujar
masuk ke liang lalu dengan lantang adzan berkumandang, dan purnama bertambah
terang. Orang-orang tergeragap gemetar mendengarnya, sebagian menahan rintih
tangis dengan menutup mulutnya. Cahaya purnama menyelusup lewat celah
orang-orang yang tengah berkerumun mengelilingi prosesi. Liang itu telah
berubah menjadi gundukan, lalu gema do’a dipanjatkan.
Selesai prosesi
semua orang kembali, tak ada lagi manusia tumpah ruah, yang pria dan wanita,
yang muda dan manula, yang guru bersama muridnya, sudah pulang ke rumahnya.
Datuk Barujar mengemasi sarung dan bantal ke dalam ransel dari rumah Ki Ageng
Sufi kemudian bergegas.
“ Mau kemana
lagi Datuk ? “ tanya seorang santri
“ Tidur bersama
rekan “ jawabnya seraya berjalan ke arah makam.
Catatan
Zhahir : bisa dipahami maksudnya oleh
pendengar
Muhasabah
: Introspeksi/mengecek diri sendiri
fastabiqul
khoirot :
berlomba-lomba dalam kebaikan
syamatah
:
sifat sulit melihat orang lain senang
khibrah
: Pengetahuan tentang sesuatu secara
mendalam
taubat
:
kembali kepada Allah dari maksiat
ibadah : Perbuatan yang bertujuan untuk
mengharap ridho Allah SWT
hasad : iri, dengki
Nama : Sandi Suryamat
TTL : Petiduran Baru, 25 Juli 1992
Asal kampus : Pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia/ FKIP/UNJA